Cerita Teken Sembiring Sebelum Jadi Korban Awan Sinabung
REPUBLIKA.CO.ID, KABANJAHE -- Teken Sembiring (47 tahun), begitu ia menyebut namanya. Ia merupakan salah satu pengungsi bencana Gunung Sinabung yang mengungsi di pos pengungsian GBKP Simpang Empat, Kabanjahe. Teken berasal dari Desa Gurki, desa yang terletak di radius 5 kilometer. Ia memiliki 3 orang anak yang diakuinya masih kecil-kecil.
"Baru saja semalam saya naik ke Sinabung," kata Teken yang ditemui Republika di Tongging, Kabupaten Karo, Sumatera Utara beberapa waktu lalu.
Kota Tongging merupakan salah satu kota di pesisir utara Danau Toba. Ia bersama sejumlah pengungsi di pos pengungsian GBKP Simpang Enam Kabanjahe dibawa pengurus gereja itu untuk mencari ikan di pesisir utara Danau Toba ini. Selain dapat menghasilkan ikan untuk variasi makanan, aktivitas ini untuk mengatasi stres bagi kepala keluarga yang mengungsi.
Di Desa Gurki, ia memiliki ladang seluas setengah hektar untuk bercocok tanam kopi. Namun kini ladang dan juga rumahnya pun telah rusak diterjang hujan abu dan awan panas yang dimuntahkan Sinabung.
Ia mengaku tidak takut dengan Gunung Sinabung yang terus tak berhenti erupsi dan masih berstatus Awas (Level IV). Menurutnya memang untuk yang paling mudah menuju puncak Sinabung dengan melalui desanya. Padahal Desa Gurki merupakan salah satu desa yang berada di wilayah aliran lava Sinabung yang ke arah selatan dan tenggara.
Dari Desa Gurki, ia menaiki Sinabung hingga ke puncaknya dengan berjalan kaki dengan mengikuti aliran lava hingga ke puncak Sinabung. Saat itu ia hanya mengatakan alasannya menaiki Gunung Sinabung untuk melihat langsung keadaan gunung tersebut.
Ia tak takut dengan status Sinabung karena sejak kecil ia pun kerap mendaki gunung itu. Di desanya pun, ia memang dikenal berani dalam mendaki Sinabung. Teken juga mengatakan keluarganya sudah sering meminta agar tidak mendaki Sinabung lagi, tapi ia tetap tak mendengarnya.
"Gimana lagi, saya dari kecil sudah tau Sinabung. Saya ingin membuktikan kalau Sinabung tak separah yang dibilang pemerintah," ujarnya saat ini.
Ia juga memberikan usul kepada Republika, jika ingin menaiki Gunung Sinabung lebih baik dari Desa Gurki. Dari jalur itu, lanjutnya, kita dapat melihat kawah Sinabung yang berada di lerengnya.
"Bunyi kawah bukan lagi kita dengar dari atas, tapi ada di bawah kita (dari puncak Sinabung). Batu Segal juga masih berdiri di sana," tukasnya.
Batu Segal merupakan batu di puncak Gunung Sinabung yang berbentuk segitiga samasisi yang tingginya sekitar 4 meter. Masyarakat tanah Karo, khususnya yang tinggal di lereng Gunung Sinabung memang memiliki kepercayaan kuno terhadap Batu Segal ini.
Kepercayaan kuno ini yaitu meyakini Gunung Sinabung tidak akan meletus sebelum Batu Segal ini ikut hancur. Kepercayaan ini pula yang diikuti Teken dan meyakini Gunung Sinabung tak akan berbahaya bagi warganya.
Namun keyakinan ini lah yang membuatnya harus tewas diterjang awan panas dari Sinabung. Berdasarkan informasi dari Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, ada 11 orang korban tewas akibat tersapu awan panas Sinabung dan Teken Sembiring adalah salah satunya.
"Baru saja semalam saya naik ke Sinabung," kata Teken yang ditemui Republika di Tongging, Kabupaten Karo, Sumatera Utara beberapa waktu lalu.
Kota Tongging merupakan salah satu kota di pesisir utara Danau Toba. Ia bersama sejumlah pengungsi di pos pengungsian GBKP Simpang Enam Kabanjahe dibawa pengurus gereja itu untuk mencari ikan di pesisir utara Danau Toba ini. Selain dapat menghasilkan ikan untuk variasi makanan, aktivitas ini untuk mengatasi stres bagi kepala keluarga yang mengungsi.
Di Desa Gurki, ia memiliki ladang seluas setengah hektar untuk bercocok tanam kopi. Namun kini ladang dan juga rumahnya pun telah rusak diterjang hujan abu dan awan panas yang dimuntahkan Sinabung.
Ia mengaku tidak takut dengan Gunung Sinabung yang terus tak berhenti erupsi dan masih berstatus Awas (Level IV). Menurutnya memang untuk yang paling mudah menuju puncak Sinabung dengan melalui desanya. Padahal Desa Gurki merupakan salah satu desa yang berada di wilayah aliran lava Sinabung yang ke arah selatan dan tenggara.
Dari Desa Gurki, ia menaiki Sinabung hingga ke puncaknya dengan berjalan kaki dengan mengikuti aliran lava hingga ke puncak Sinabung. Saat itu ia hanya mengatakan alasannya menaiki Gunung Sinabung untuk melihat langsung keadaan gunung tersebut.
Ia tak takut dengan status Sinabung karena sejak kecil ia pun kerap mendaki gunung itu. Di desanya pun, ia memang dikenal berani dalam mendaki Sinabung. Teken juga mengatakan keluarganya sudah sering meminta agar tidak mendaki Sinabung lagi, tapi ia tetap tak mendengarnya.
"Gimana lagi, saya dari kecil sudah tau Sinabung. Saya ingin membuktikan kalau Sinabung tak separah yang dibilang pemerintah," ujarnya saat ini.
Ia juga memberikan usul kepada Republika, jika ingin menaiki Gunung Sinabung lebih baik dari Desa Gurki. Dari jalur itu, lanjutnya, kita dapat melihat kawah Sinabung yang berada di lerengnya.
"Bunyi kawah bukan lagi kita dengar dari atas, tapi ada di bawah kita (dari puncak Sinabung). Batu Segal juga masih berdiri di sana," tukasnya.
Batu Segal merupakan batu di puncak Gunung Sinabung yang berbentuk segitiga samasisi yang tingginya sekitar 4 meter. Masyarakat tanah Karo, khususnya yang tinggal di lereng Gunung Sinabung memang memiliki kepercayaan kuno terhadap Batu Segal ini.
Kepercayaan kuno ini yaitu meyakini Gunung Sinabung tidak akan meletus sebelum Batu Segal ini ikut hancur. Kepercayaan ini pula yang diikuti Teken dan meyakini Gunung Sinabung tak akan berbahaya bagi warganya.
Namun keyakinan ini lah yang membuatnya harus tewas diterjang awan panas dari Sinabung. Berdasarkan informasi dari Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, ada 11 orang korban tewas akibat tersapu awan panas Sinabung dan Teken Sembiring adalah salah satunya.